-

Wednesday, May 30, 2012

Mukmin Pencemburu

, Oleh Moch Hisyam

Kecemburuan adalah kebencian yang timbul akibat disamakan dengan yang lain dalam hak-haknya. Kecemburuan merupakan bagian dari cinta, bagian yang dapat mengukuhkan ikatan cinta. Orang yang mengaku mencintai, namun tidak memiliki rasa cemburu, cintanya pantas dipertanyakan.

Sebagai seorang mukmin selayaknya memiliki sifat cemburu. Karena, ia merupakan sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang Mukmin yang saleh. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin itu pencemburu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Kecemburuan seorang mukmin timbul tatkala melihat saudaranya yang seiman melakukan perbuatan yang menyalahi aturan agama. Ketika kecemburuan ini muncul maka hal itu akan membangkitkan rasa cinta.

Sehingga, ia tidak akan membiarkan saudaranya celaka, ia akan berupaya untuk melakukan perbaikan dan melenyapkan kemungkaran yang dilakukan saudaranya dengan nasihat, hikmah, dan sikap bijaksana.

Rasul bersabda, “Agama itu adalah nasihat. Nasihat kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada seluruh umat Muslimin.” (HR Muslim).

Dalam Alquran, Allah SWT mengingatkan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS an-Nahl [16]: 125).

Cemburu demi kebenaran dan ketaatan merupakan dasar tegaknya amar makruf nahi mungkar. Bila tidak terdapat kecemburuan dalam hati seorang yang beriman maka sudah pasti tidak ada motivasi untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Jika hal ini terjadi, Allah akan menurunkan siksa secara merata kepada kita sekalian.

“Tidaklah satu kaum itu melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan di kalangan mereka terdapat orang yang mampu mencegahnya dari mereka, namun ia tidak melakukannya, melainkan Allah meratakan siksa dari-Nya kepada mereka.” (HR Tirmidzi).

Dalam hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Kalian harus menyuruh pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, atau (kalau tidak) Allah akan mengirim
hukuman kepada kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, namun  Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi).

Agar kecemburuan ini tertanam dalam diri kita maka upaya yang harus kita lakukan adalah menumbuhkan rasa cinta kepada saudara-saudara kita. Semakin besar rasa cintanya, akan semakin besar pula rasa cemburunya.

Dengan cara ini, seorang mukmin sangat tidak menginginkan bila saudaranya itu celaka, akan tetapi menginginkan saudaranya itu bersama-sama mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat kelak.

Sehingga, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran akan hidup di tengah-tengah kaum Muslimin dalam naungan dan jalinan cinta, kasih, dan sayang. Wallahu a’lam.


sumber : www.republika.co.id

Tuesday, May 29, 2012

Seandainya Saya Koruptor

, Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub

Salah satu cara untuk menghapuskan dosa adalah tobat. Apabila dosa itu berkaitan dengan hak Allah SWT, seperti minum khamar, meninggalkan shalat, dan lainnya, ada tiga syarat agar tobat diterima Allah SWT, yakni menyesali diri, segera berhenti dari perbuatan maksiat, dan berjanji tidak mengulanginya lagi.

Apabila dosa itu berkaitan dengan hak sesama manusia, syaratnya ditambah dengan minta dihalalkan dari orang yang diambil haknya.

Rasul bersabda, “Siapa yang pernah menzalimi saudaranya, baik perasaannya maupun yang lain, ia harus minta dihalalkan daripadanya sekarang juga sebelum datang kematian. Apabila tidak, di akhirat nanti pahala kebajikan orang yang menzalimi itu akan ditebuskan untuk orang yang dizalimi, dan apabila masih kurang, dosa orang yang dizalimi akan dibebankan kepada orang yang menzaliminya.”

Korupsi adalah perbuatan yang berkaitan dengan hak manusia. Maka itu, tobat dari korupsi tidak akan diterima Allah SWT sebelum kita minta dihalalkan oleh pihak tempat kita melakukan korupsi. Apakah itu uang negara, lembaga, atau perorangan.

Apabila kita korupsi kepada negara, tobat kita tidak akan diterima Allah SWT sampai kita dihalalkan oleh pemilik negara, yaitu rakyat. Kepala negara adalah orang yang diamanati oleh rakyat, dan dia tidak berhak untuk menghalalkan tindakan korupsi.

Oleh karena itu, apabila melakukan korupsi, saya akan mengembalikan hasil korupsi itu kepada pihak tempat saya melakukan korupsi sebelum saya mati. Apabila korupsi uang negara, uang hasil korupsi itu akan saya kembalikan kepada negara. Meskipun saya mampu menyelamatkan diri dari hukuman di dunia, tetapi selama rakyat tidak mau menghalalkan uang yang saya korupsi, selama itu pula saya tidak dapat masuk ke surga.

Selanjutnya, saya akan menyerahkan diri saya kepada penegak hukum agar dihukum sesuai undang-undang yang berlaku. Bagi saya, tidak ada artinya bila saya dihukum lima atau 10 tahun. Dalam hukuman di dunia, saya masih bisa menikmati makanan enak. Tapi, bila tidak mengembalikan harta hasil korupsi itu, saya akan dijebloskan ke neraka. Juga ditambah siksaan yang panas hingga 100 kali lipat daripada panas di bumi. Minuman di neraka juga sangat mengerikan.

Jadi sesungguhnya, korupsi justru akan merugikan kita sendiri, tidak saja di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Dengan mengembalikan uang hasil korupsi kepada negara, kemudian saya di penjara maka saya justru akan selamat di dunia dan akhirat.

Saya juga tidak mau menukar surga yang indah dan penuh kenikmatan itu dengan neraka. Sekecil-kecilnya kapling di surga, masih 11 kali luasnya daripada dunia ini. (HR Imam Muslim). Sekecil-kecil (serendah apa pun) orang yang masuk surga adalah orang yang diberi pembantu oleh Allah SWT sebanyak 8.000 orang. (HR Imam Ahmad).

Maka itu, seandainya saya koruptor, saya memilih dipenjara di dunia dan mengembalikan ke tempat asal yang mengambil harta itu, daripada diceburkan di bara api neraka.


sumber : www.republika.co.id

Monday, May 28, 2012

Pejabat Penjilat

,  Oleh: Prof Fauzul Iman

Suatu hari Abu Nawas diundang sultan untuk mengikuti pertemuan di istana yang para menterinya suka bermaksiat dan cenderung korup. Sebelum pertemuan laksanakan, Abu Nawas dipanggil menghadap sultan.

“Wahai Abu Nawas maukah kau aku beri tugas?” tanya Sultan. Abu Nawas menyatakan kesediaannya. “Apa hukumannya kalau kau gagal dalam melaksanakan tugas?” desak Sultan.

“Aku siap dihukum 10 kali cambukan,” ujar Abu Nawas.

Sultan pun memerintahkan para dayangnya untuk mempersiapkan pakaian ala kerajaan kepada Abu Nawas. Pertemuan dilakukan esok harinya. Abu Nawas muncul di tengah pertemuan dengan berpakaian ala kerajaan, kecuali pecinya yang kumal dan lusuh.

“Wahai Abu Nawas, mengapa di acara terhormat seperti ini kau pakai peci kumal?” tegur Sultan. “Asal tahu saja Sultan, peci yang saya pakai ini wasiat dari ayahku. Bagi siapa yang tidak pernah maksiat, ia akan mampu membuka peci ini dan merasakan harumnya bau surga,” ujarnya. Raja pun memerintahkan menteri di sebelah kanannya untuk membuka peci Abu Nawas.

Menteri itu segera memenuhi perintah Sultan dan membukanya dengan perasaan gemetar. Tak ada bau surga di dalam peci itu kecuali bau busuk yang menyengat. Tapi, menteri menutupi kebohongannya dan berpura-pura di hadapan Sul tan.

“Benar Tuan, bau surga di peci itu harum sekali,” ujarnya. Sultan manggut-manggut percaya.

Tidak cukup dengan pengakuan sang menteri ini, Sultan memerintahkan menteri yang duduk di sebelah kiri untuk melakukan hal serupa. Ia juga tak mencium bau harum surga, sebaliknya malah bau busuk yang menyengat. Tapi, ia juga berpura-pura dan mengatakan bahwa baunya harum sekali.

Sultan pun penasaran. Lalu ia berusaha membuka peci Abu Nawas. Namun, tak lama setelah membukanya, Sultan langsung melepaskannya. Ia marah kepada Abu Nawas dan kedua menterinya yang tak jujur. Ia pun memerintahkan kedua menterinya itu dipecat. Abu Nawas, karena berbohong, dihukum dengan 10 kali cambukan.

Kisah di atas mempertontonkan dengan jelas bagaimana nasib nahas itu menimpa para menteri yang suka berbohong, bermaksiat, dan menjilat atasan. Pemecatan itu pun dinilai wajar. Karena diukur dari segi apa pun, tipe menteri penjilat merupakan sosok yang bermental lemah ( soft culture). Mereka malas dan tidak akan mampu berpikir serius ( high culture), apalagi berbuat untuk kemajuan negara dan rakyatnya.

Sikap penjilat telah melunturkan idealisme, membunuh kreativitas, dan mematikan kerja keras. Mereka tak mau pusing dan masa bodoh menyaksikan persoalan kenegaraan yang menantang dan menuntut pemecahan. Bagi mereka, watak penjilat hanyalah media hipokrit (kemunafikan) untuk mencari selamat dan menjunjung pimpinannya agar senang. Sementara urusan negara dan rakyat tak dihiraukan, karena hati dan telinganya telah disumbat oleh hawa nafsu, kesombongan, dan keserakahan. (QS [31]: 7).

Marilah kita singkirkan wa tak penjilat ini. Jangan beri kemudahan untuk membuat kerusakan dan menyebarkan fitnah dan kemunafikan. Sebab, hal ini akan membuat rusak akhlak dan moral bangsa. Wallahu a’lam.


sumber : www.republika.co.id

Kisah Khalifah Umar Memilih Pengganti

,  Oleh: Ayatulloh Marsai*

Subuh itu Umar bin Khattab, seperti biasa menjadi imam shalat subuh di Masjid Nabawi. Setelah takbiratul ihram, tiba-tiba muncul seorang laki-laki, langsung menikam dada dan perutnya enam kali bertubi-tubi. Tubuh Umar roboh. Lalu para jamaah memapahnya ke rumahnya di sebelah masjid.
 
Dalam detik-detik kematiannya, yang terpikir oleh Umar adalah bagaimana supaya sepeninggal dirinya, kekhalifahan lebih baik lagi. Dia melihat ambisi sahabat-sahabatnya begitu besar, sehingga tidak mungkin menunjuk salah satu diantara mereka, seperti apa yang dilakukan Abu Bakar As-Sidiq kepada dirinya.

Situasinya jelas berbeda dengan masa dia diangkat oleh Abu Bakar As-Sidiq. Pada akhir kepemimpinan Umar, semua kelompok merasa berjasa menegakkan panji Islam, hingga merasa layak (berhak) menjadi khalifah menggantikan Umar bin Khattab.

Umar terbayang dua tokoh, Abu Huzaifah dan Abu Ubaidah,  “seandainya salah satu diantara mereka masih hidup akan saya serahkan kepadanya.”

Tabib yang memeriksa Umar rupanya sampai pada diagnose akhir, lalu berkata, “berwasiatlah, ya Amirulmukminin!” Umar tidak tenang. Bukan karena kematiannya, tetapi karena dia belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya. Lalu, orang-orang berkata, “kenapa tidak Abdullah bin Umar saja yang menggantikan urusan anda.” Umar marah, “sekali-sekali tidak akan saya serahkan urusan ini kepada orang yang tidak mampu menceraikan istrinya”.

Akhirnya Umar menunjuk enam orang untuk memilih satu diantara mereka, yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa’d bin Abi Waqqas. Alasannya, Umar pernah mendengar Rasul berkata bahwa mereka adalah penghuni surga. Umar menyuruh Abdullah bin Umar bergabung untuk mengawasi, tidak boleh dipilih karena dia anak dari Umar bin Khattab.

Dari kisah di atas, paling tidak ada 3 (tiga) pelajaran (ibrah) yang bisa kita petik sebagai kriteria memilih pemimpin. Pertama, integritas agama. Jaminan masuk surga oleh Rasul, bagi Umar cukup sebagai dasar kualitas agama mereka.

Kedua, Umar tidak mengangkat anaknya sebagai penggantinya, meskipun umat menganjurkannya. Inilah satu diantara keteladanan kepemimpinan Umar bin Khattab, dia enggan melibatkan keluarga untuk urusan “negara,” bukan hanya urusan kekayaan “negara,” namun juga jabatan, lebih-lebih jabatan nomor satu.

Ketiga, Umar tidak mengangkat orang yang tidak mampu menceraikan istrinya. Tentu saja kepada istri yang sudah melakukan kesalahan fatal. Artinya, Umar tidak mengharapkan pemimpin yang menggantikannya nanti orang yang tidak tegas. Umar ingin pemimpin berikutnya tegas seperti dia. Seperti langkahnya yang tidak segan-segan memecat pejabat-pejabat yang tidak berlaku adil kepada rakyatnya.
 
Jika kita tengok pemimpin-pemimpin kita pada setiap levelnya, dari RT sampai Presiden, sudahkah bebas dari tali hubungan keluarga dan karib-kerabat (nepotisme)? Apakah pemimpin kita tidak memanfaatkan fasilitas negara, akses politik dan ekonomi untuk keluarganya? Terakhir, sudahkah tegas kepada pejabat-pejabat yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyatnya?

* Penulis adalah Pengajar di Al-Khairiyah Karangtengah Cilegon, Banten


sumber : www.republika.co.id

Sunday, May 27, 2012

Inilah Warisan Rasulullah SAW

,Oleh: Dr A Ilyas Ismail

Diceritakan, sepeninggal Nabi SAW, putrinya, Siti Fatimah, meminta kepada Khalifah Abu Bakar agar diberikan warisan dari harta peninggalan Nabi. Namun, Abu Bakar menolak permintaannya. Dasarnya, sabda Rasulullah SAW, “Kami para nabi tidak mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah [milik umat].” (HR Bukhari dari Aisyah).

Dalam riwayat lain, dikisahkan pula bahwa sahabat Abu Hurairah merasa heran melihat banyak orang di salah satu pasar di Madinah, yang begitu sibuk berbisnis. Lalu, ke pada mereka Abu Hurairah bertanya, “Kalian di sini, tahukah kalian bahwa warisan Nabi sedang dibagikan di Masjid Nabawi?”

Mereka pun bergegas menuju masjid. Merasa tak ada pembagian warisan di sana, mereka dengan rasa kecewa kembali menemui Abu Hurairah. “Tak ada pembagian warisan di masjid,” sanggah mereka.

Jawab Abu Hurairah, “Apa kalian tidak melihat di sana ada orang-orang yang sedang shalat, membaca Alquran, dan belajar tentang hukum-hukum Allah? Itulah warisan Nabi.” (HR Thabrani dari Abu Hurairah).

Dua kisah ini menegaskan kepada kita bahwa warisan penting yang ditinggalkan Nabi SAW bukanlah harta, tetapi ajaran Islam. Karenanya, ahli waris Nabi bukanlah keturunannya an sich, tetapi para ulama. Nabi SAW, seperti diungkapkan para perawi hadis (ash-hab al-Sunan), berkata, Ulama adalah ahli waris para Nabi.

Sebagai ahli waris nabi, para ulama memikul beban dan tanggung jawab dakwah, yaitu kewajiban menyeru dan mengajak manusia ke jalan Allah, ila sabil-i rabbik(QS an-Nahl [16]: 125) melalui tabligh , amar makruf, dan nahi munkar, serta beramal saleh dan keluhuran budi pekerti (QS Fu shshilat [41]: 33). Hal inilah yang ditunjukkan sahabat Abu Bakar Shiddiq dan Abu Hurai rah, dalam kisah di atas.

Belajar dari dakwah sahabat Abu Hurairah di atas maka ada dua hal yang secara absolut harus dimiliki oleh para ulama dan para dai. Pertama, hikmah, yakni ilmu dan kearifan dalam mengidentifikasi masalah dan memberikan jawab an (solusi) yang tepat dalam mengatasi masalah tersebut.

“Allah menganugerahkan al-Hikmah (kepahaman yang dalam tentang Alquran dan assunah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (QS al- Baqarah [2]: 269).

Kedua, qudwah hasanah, yakni keteladanan baik dalam sikap maupun perilaku, sehingga sang dai layak menjadi tokoh panutan (patron client), atau model peran (role model). (QS al-Ahzab [33]: 21).

Warisan yang sesungguhnya adalah agama dan hikmah atau kebenaran yang bersifat universal. Setiap orang beriman, setingkat dengan ilmu dan kesanggupan yang dimiliki, diminta untuk menjaga “warisan suci” ini.

Rasul Muhammad SAW bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara [pusaka]. Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya selagi kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunah Rasul.” (HR Malik, Muslim dan Ash-hab al-Sunan). Wallahu a`lam.


sumber : www.republika.co.id

Saturday, May 26, 2012

Kontribusi Indonesia dalam Perdamaian Dunia

KONFLIK negara adalah isu yang terus menggelinding setiap waktu dan penyelesaiannya sangatlah alot. Setiap tahun selalu ada persengketaan antara dua negara. Indonesia pernah memanas dengan Malaysia di Sipadan wilayah perairan Kalimantan, Cina sekarang berseteru dengan Filipina di perairan Laut Cina Selatan, Serbia dengan Bosnia, dan perseteruan yang tak pernah berakhir antara Israel dan Palestina. Masih banyak catatan persengketaan bilateral dua negara yang terpaksa harus diselesaikan dengan angkat senjata.

Antrean problematika konflik bilateral --yang kerap memicu konflik multilateral-- menuntut para pihak untuk menyelesaikannya secara damai. PBB sebagai organisasi perdamaian dunia dituntut untuk mengatasi perselisihan dengan cara damai, konsisten berada di tengah-tengah tanpa diintervensi oleh kekuatan negara-negara super power. Itulah sebabnya PBB kemudian membentuk pasukan pemeliharaan perdamaian (peacekeeper) pada 29 Mei 60 tahun silam.

Pasukan pemelihara perdamaian adalah alat yang terdapat dalam tubuh PBB yang memiliki hak legitimasi, kemampuan untuk membatasi ruang gerak tentara dan polisi di seluruh dunia, serta mengintegrasi tentara dan polisi dengan pasukan penjaga perdamaian dalam operasi multidimensi.

Menurut data yang dihimpun dari United Nations Blog (http://www.un.org/en/ peacekeeping/ operations/history.shtml) hingga bulan Mei 2010, pasukan pemelihara perdamaian PBB memiliki lebih dari 124.000 personel militer, polisi, dan staf sipil yang berasal lebih dari 110 negara di dunia. Jumlah tersebut terus meningkat hingga saat ini, terbukti dengan bertambahnya kuota staf sipil resmi PBB hingga tembus angka 1.009 pada Februari 2012.

Tantangan

Pasukan pemeliharaan perdamaian yang telah eksis lebih dari 60 tahun semakin hari semakian mendapat tantangan yang luar biasa beratnya. Pasukan ini harus menjalankan misi sebagai kontigen perdamaian, mendukung dan menyuplai institusi negara pascakonflik yang masih lemah selama transisi politik sehingga mampu bangkit dan menata kembali negaranya sendiri bertahap mulai dari alas fundamental, serta memberdayakan dan melindungi warga sipil korban konflik sesuai prosedur hukum dan peradilan untuk menekan sikap introvert.

Di satu sisi pasukan ini harus besikap netral, tidak berpihak kepada negara manapun, dan tidak boleh diintervensi oleh kekuatan mana pun; di sisi lain dalam situasi tertentu pasukan pemelihara perdamaian pun harus tetap tegas dan siap "menghukum" negara-negara pembangkang yang melanggar kesepakatan. Oleh karena itu, mau tidak mau anggota pasukan ini mesti memiliki kemampuan militer dan berstrategi.

Kontingen Garuda

Indonesia sebagai anggota perdamaian dunia mengimplementasikannya dengan berpartisipasi di tubuh Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB sejak 1957. TNI dengan standar manuver terbaik yang tergabung dalam Kontigen Garuda merupakan unsur vital di dalamnya.

Dalam kurun waktu 55 tahun, Indonesia telah mengirimkan 26 kontigen untuk mengintervensi negara konflik dalam upaya perdamaian. Kontingen Garuda I, dengan 559 personel yang merupakan gabungan dari Resimen Infanteri-15 Tentara Territorium IV/Diponegoro dengan Resimen Infanteri-18 Tentara Territorium V/Brawijaya Malang, dikirim pada 8 Januari 1957 ke Mesir ketika Majelis Umum PBB memutuskan untuk menarik mundur pasukan Inggris, Prancis dan Israel dari wilayah Mesir. Saat ini, sekitar 2000 Pasukan Perdamaian Indonesia dioperasikan di 7 negara konflik, dengan rincian (halonusantara.com) Lebanon (1.455 orang), Kongo (192), Haiti(170), Darfur (146), Sudan Selatan (8)), dan Liberia (1orang).

Eksistensi Indonesia dalam upaya memproteksi negara konflik dengan aktif mengirimkan pasukan pemelihara perdamaian diapresiasi secara positif. Poin terpenting, kebudayaan Indonesia yang mendoktrin warganya untuk menjadi masyarakat berbudi, ramah, dan hangat, direfleksikan dengan baik oleh Kontigen Garuda secara lebih fleksibel, hal itu merupakan tindakan preventif terhadap penolakan warga sipil negara konflik, seperti di Sudan. Keramahan adalah langkah diplomatik agar ketegangan tidak berlarut.

Pasukan pemelihara perdamaian, memerlukan kecermatan dalam menjalin hubungan baik dengan pihak yang terkait konflik, sehingga tidak melakukan kegiatan yang melanggar marjin dan tidak akan menurunkan citra independensi dan netralitas.

Kontingen Garuda telah memberi warna tersendiri dalam pasukan pemeilahara perdamaian. Kontingen Garuda lebih menggunakan pendekatan preventif dan persuasif agar dicapai perdamaian yang sesungguhnya. Kontingen Garuda berpegang pada prinsip-prinsip perdamaian sebagaimana yang dikumandangkan PBB. United Nations Blog menyatakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar operasi pemelihara perdamaian dapat berjalan sukses dan sinkron.

1. Pasukan pemelihara perdamaian harus mengikuti prinsip-prinsip persetujuan, ketidakberpihakan, dan menghindari penggunaan kekuatan kecuali untuk membela diri dan melaksanakan mandat. 2. Menunjukkan kredibilitas terutama di mata penduduk setempat. 3. Membuat komitmen politik dengan pihak terkait menuju perdamaian. 4. Menunjukkan kepekaan tinggi terhadap penduduk setempat dan menetapkan standar profesionalisme tinggi dalam berperilaku, karena pasukan perdamaian harus menghindarkan diri menjadi bagian dari konflik.

Kesungguhan Indonesia

Saat ini, TNI menempatkan pasukan penjaga perdamaian Indonesia dengan jumlah personel terbesar di Lebanon, Haiti, dan Kongo. Sedangkan military observer, personel yang terlatih dan dibekali ilmu dalam misi PBB serta mempunyai kecakapan khusus sebagai pengamat militer, ditempatkan di beberapa negara seperti Sudan, Sudan Selatan, Liberia, dan Suriah.

Untuk memenuhi klasifikasi sebagai sepuluh besar negara pengirim pasukan perdamaian PBB, Indonesia tengah meningkatkan personel TNI yang siap dikirim hingga 4000 personel dengan salah satu kualifikasi memiliki kecakapan berbahasa Inggris.

Indonesia membuka Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pasukan Misi Perdamaian di Sentul seluas 261 hektar untuk melatih tentara yang berkapasitas lebih. Karena kapasitas yang dibutuhkan tidak hanya berperang, melainkan upaya mengatasi terorisme, menangani korban bencana, dan memahami kebudayaan negara yang dilanda konflik. (Pikiran Rakyat, 20 Maret 2012)

Tugas Kontingen Garuda XXII/H yang terhitung mulai 23 Agustus 2008 - 22 Agustus 2009, memikul tugas pokok untuk monitoring, verifikasi, dan implementasi perjanjian damai komprehensif (comprehensive peace agreement/CPA). Tujuannya adalah terlaksananya proses gencatan senjata, proses DDR, sensus, pemilu, dan referendum. Ini berarti bukan hanya mengutamakan kekuatan fisik, melainkan juga intelektual, abilitas, dan integritas.

Akhirnya damai Indonesia, damailah dunia!
(Penulis adalah mahasiswa Jurusan Satra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unpad Bandung)**
Galamedia jumat, 18 mei 2012 01:38 WIB
Oleh : Auliya Millatina Fajwah

Kesadaran Membaca Buku

FRANCIS Bacon menyuratkan, "...some books are to be tasted." Buku menjadi tambahan penting bagi seseorang untuk mendapat pengetahuan baru. Apa pun itu isi bukunya. Suratan Bacon tersebut termaktub dalam esai "Of Study, Of Truth and Of Friendship". Sementara itu Mohamad Hatta mengatakan, "Aku rela dipenjara bersama buku, sebab dengan buku aku bebas."
Jadi tak pelak lagi, buku menjadi barang yang sangat berharga. Buku sejatinya adalah jendela dunia dan pengetahuan. Melalui buku kita bisa mendapatkan wawasan luas tentang segala hal, dari mulai remeh temeh hingga hal luar biasa. Melalui buku, teori relativitasnya Einstein mampu meledakkan Kota Hiroshima. Bahkan, short message service (SMS) pun menggunakan kode-kode digital yang awalnya dipelajari lewat buku. Sederhananya, buku bisa membuka mata kita untuk menyingsingkan hijab cakrawala. Ketika tak ada lagi aktivitas pergulatan antara manusia dengan buku, peradaban akan hancur berkeping-keping, seperti halnya peradaban Islam, yang sempat tertutupi kemajuan pengetahun Eropa.

Revolusi Gutenberg pada abad ke-16 di Jerman yang menemukan mesin cetak manual pertama pada tahun 1645, menjadi pemicu informasi berbasis cetak, yang menyangga peradaban modern bagi seluruh bangsa dan memperluasnya menjadi industri buku. Seiring perkembangannya, disadari atau tidak, buku menjadi penopang berkembangnya modernitas bagi seluruh umat manusia.

Sebelumnya memang yang terjadi di masyarakat adalah hidupnya tradisi lisan (oral tradition) yang kuat, bahkan hingga saat ini pun. Seperti halnya ketika Indonesia (Sunda) di zaman Kolinial, tradisi membaca diperkenalkan oleh pihak penjajah (Belanda) pada abad 19, lewat sekolah melalui bahan bacaan dan lewat terjemahan, baik karya sastra mau pun yang lainnya (Moriyama: 2000).

Henri Chambert-Loir penyunting buku yang dikerjakan beberapa lembaga yang berjudul Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (KPG: 2009), "Pada masa lalu tentu saja amat berbeda, buku (berupa naskah) pada masa itu jauh lebih langka, karya yang ditulis dan dibaca/didengar jauh lebih sedikit, tetapi terjemahan juga mencapai angka proporsi yang amat besar." Rujukannya masa lalu itu, dalam konteks Indonesia pada zaman kolonial Belanda.

Esensi dan literasi

Tak ada gunanya buku tanpa aktivitas membaca. Buku akan menjadi replika tak berarti yang terpampang di perpustakaan dengan ketebalan debu menusuk hidung. Kelakar berbentuk pemeo bisa saja terucap "tanpa buku, bangsaku lesu!" Saya pikir, buku tanpa dibaca akan membuat bangsa ini hancur; bukan lagi lesu! Artinya sebuah bangsa yang besar, bangsa yang tidak melupakan buku dan aktivitas membaca. Dari buku inilah kita bisa membaca, merfleksikan kehidupan dan selebihnya mampu menulis. Seperti dikatakan penyair Amerika, Henry David Thoreau, "Kita dapat mengubah dunia dengan membaca buku" (Walden: Reading. 1854).

Membaca tidak hanya menambah wawasan-ilmu dan pengetahuan, tetapi membuka pikiran dan mata hati kita. Dalam doktrin Islam perintah membaca (iqra, bacalah) merupakan awal dari tugas kenabian. Ini berarti ketika kita membaca, posisinya sedang menjalankan salah satu tugas seorang nabi.

Membaca sejalan dengan visi mengembangkan literasi dalam arti lebih luas yakni seluruh masyarakat di dunia harus melek aksara. Secara harfiah, literasi mengacu pada kegiatan baca-tulis. Namun sesuai dengan yang dinyatakan UNESCO, kini arti literasi kian meluas. Dalam rumusannya, UNESCO menyatakan literasi merupakan kemampuan seseorang, berdasarkan kegiatan baca-tulis untuk mengerti, memahami, dan berkontribusi di dalam kegiatan masyarakat, di tempat orang yang terlibat dalam kegiatan literer tersebut.

Pada sisi lain, manusia tidak dapat meninggalkan kegiatan membaca. Esensinya --dalam filsafat Aristoteles dengan esensial dan desensial-- buku ialah sebuah bahan bacaan. Ini mengindikasikan bahwa manusia mesti membudayakan kegiatan membaca, selebihnya bagaimana membaca menjadi hal yang penting bagi kehidupan. Apa pun kendala yang dihadapi, misalnya, tak mempunyai buku karena mahal, kita bisa membaca di perpustakaan. Atau kini sudah banyak perpustakaan keliling, rumah baca masyarakat (pribadi) dan sejumlah pegiat Literasi. Ini bisa dimanfaatkan untuk menopang kegiatan baca, syukur-syukur selebihnya mampu menulis.

Menghadapi era digital

Kendati perkembangan zaman telah mengubah wujud buku dari cetak ke digital, namun tetap saja membaca-buku memang sangat diperlukan bagi siapa pun; baik siswa, mahasiswa, guru, dosen, maupun masyarakat luas agar dapat melek aksara. Apalagi kini zaman internet, di arus informasi semakin deras, sehingga kita dimudahkan membaca. Dengan perkembangan super cepat, bahan bacaan seperti buku sudah diunggah menggunakan gadget cerdas dalam bentuk aplikasi elektronik (e-book). Buku menjadi sangat penting di abad apa pun namanya, agar semua orang dapat membaca, selebihnya mampu menjadi bangsa yang mampu memproduksi peradaban.

Kesadaran membaca-buku tanggung jawab bersama, baik lembaga formal, pemerintah maupun kehidupan sosial (para pegiat literasi), lingkungan keluarga tertuama. Agar membaca buku tersebut menjadi budaya, saya kira tepat jika mendengarkan kata-kata dari seorang sastrawan Amerika, Cynthia Ozick, "Kalau anda ingin menghayati kehidupan yang akan menyebabkan anda merasa menjadi orang beradab, anda harus merebutnya melalui budaya anda sendiri".

Pada titik inilah seyogyanya kesadaran tersebut muncul secara kolektif (seluruh pihak) dengan membudayakan membaca-buku. Agar menjadi bangsa yang besar dan melek aksara. Sepertinya kita tidak hanya mengandalkan dari satu lokus kesadaran. Tapi saya pikir membaca buku itu, salah satu jalan untuk merengkuh kemanusiaan.
(Penulis adalah eksponen Komunitas Sasaka dan bergiat di Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung)**
Galamedia
ju'mat, 25 mei 2012 01:04 WIB

Oleh : Pungkit Wijaya

Friday, May 25, 2012

Keagungan Bulan Rajab

, Oleh Dr Harry Mulya Zein

Bulan Rajab merupakan bulan ke tujuh dalam penanggalan Islam (Hijriah). Pada bulan ini terdapat peristiwa yang sangat agung dan suci yakni Isrta Mijraj Nabi Muhammad saw. Dimana peristiwa suci itu merupakan awal dari perintah Allah kepada umat Muhammad saw  untuk menjalankan perintah salat lima waktu diyakini terjadi pada 27 Rajab ini.

Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan.

Dalam kepercayaan Umat Islam, dikenal empat bulan haram (suci) satu diantaranya Rajab, dimana secara berurutan adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri,  Rajab.

Dinamakan bulan suci  karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan  ini, Al-Qur’an menjelaskan:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Keagungan Rajab membuat bulan ini menjadi bulan ibadah, seperti puasa. Banyak masyarakat Islam yang sering kali tidak mengerti kesucian puasa pada bulan yang agung Rajab ini.

Mujibah al-Bahiliyah pernah meriwayatkan, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"

Bahkan Imam Muslim pernah meriwayatkan, keistimewaan puasa di bulan Rajab setara dengan puasa pada bulan Ramadan.

"Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan  Rajab). Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."

Terakhir,dalam sebuah referensi Nabi Muhammad saw pernah bersabda:  "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."

Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”


sumber : www.republika.co.id

Thursday, May 24, 2012

Spirit Meraih Rayyan

Oleh: Ina Salma F
 
Diriwayatkan dari Sahl bin Saad bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga itu terdapat pintu yang dinamakan Ar-Rayyan. Orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada hari Kiamat kelak. Tidak bisa masuk bersama mereka seorang pun selain mereka. Kelak akan ada pengumuman,’Dimanakah orang yang berpuasa?’ Mereka lalu berduyun-duyun masuk melalui pintu tersebut. Setelah orang yang terakhir dari mereka masuk, pintu tadi ditutup kembali. Tiada lagi orang lain yang akan memasukinya.” (HR. Bukhari Muslim).
 
Berpuasa adalah aktivitas rohani yang diperintahkan Allah juga anjuran Nabi untuk melatih kesabaran dan ketakwaan manusia itu sendiri. Dalam QS Al-Baqarah ayat 183, Allah secara tegas memerintahkan umat Muslim untuk menjalani ibadah puasa sebulan penuh.

Tidka hanya menahan lapar dan haus semata, namun juga menahan segala dorongan dan keinginan buruk yang bersumber dari nafsu yang tidak terkendali. Sejak terbit fajar, hingga terbenam matahari, umat Muslim telah menjalani suatu proses pembersihan fisik maupun rohani. Bagi orang berpuasa, mereka akan mendapatkan dua kebahagiaan (farhataani), yakni kebahagiaan saat berbuka puasa dan bahagia karena bertemu dengan Tuhannya di surga kelak.
 
Adapun ganjaran lain yang didapatkan orang yang berpuasa, dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari Said Al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap hamba yang berpuasa di jalan Allah, Allah akan menjauhkannya dari api neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.” (HR Bukhari Muslim).

Selain perintah untuk menjalankan puasa Ramadhan, Allah juga memberikan peluang untuk menggunakan sebelas bulan di luar Ramadhan untuk memperbanyak amalan sunah, termasuk di dalamnya puasa sunah di beberapa bulan yang Allah anjurkan untuk menambah amal kebaikan. Allah menyediakan bulan-bulan mulia dan penuh hikmah selain bulan Ramadhan untuk kita mendekatkan diri kepada-Nya.

Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Mujibah Al-Bahiliyah, Nabi Muhammad SAW telah bersabda, “Puasalah pada bulan-bulan Haram (suci dan mulia).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Sebagaimana kita ketahui ada empat bulan Haram yang mempunyai keistimewaan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Bertepatan dengan hadits tersebut, tanpa terasa, kita sudah berada di pengujung Jumadil Akhir serta akan memasuki bulan Allah, bulan Rajab.

Nabi SAW juga menganjurkan untuk berpuasa di bulan-bulan tersebut. Anjuran ini secara tersirat dimaknai sebagai perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut, tidak terkecuali puasa sunah di bulan Rajab. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 25/291). Sedangkan Imam Ahmad mengatakan, sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.

Selain berpuasa, amalan yang dianjurkan dalam bulan Rajab ialah dengan banyak beristighfar sebagai sarana untuk bertobat dan penyucian diri menuju bulan suci Ramadhan dan memperbanyak shalawat untuk Baginda Rasulullah SAW.
 
Dalam suatu riwayat, diceritakan, "Pada malam Mikraj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril AS, ‘Wahai Jibril untuk siapakah sungai ini?’ Maka berkata Jibril, ‘Ya Muhammad, sungai ini adalah untuk orang yang membaca shalawat untuk engkau di bulan Rajab ini.”
 

Mari jadikan momentum Rajab ini untuk memperbanyak istighfar, shalawat kepada Rasulullah, juga puasa sunah agar Allah berkenan memasukkan kita ke pintu ahli puasa, Baab Ar-Rayyan, dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Allahumma, amin.






sumber : www.republika.co.id

Religiositas Humor Si Kabayan



SEJAK merdeka sampai hari ini, kekuasaan di negeri kita dikendalikan oleh para "pemimpi" dan pemimpin. Yang pertama adalah mereka yang bercokol di semua lini yang dengan lantang menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi justru menistakan kepentingan rakyat, malah tampil menjadi "penjuang" koruptor dan penjahat-penjahat lain dengan aneka macam wujud kenistaan tingkah lakunya. Yang kedua adalah mereka yang dengan sepenuh hati mencurahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, baik material maupun spiritual, untuk kepentingan rakyat. Pengorbanan mereka tidak semu, tetpi atas nama idealisme unruk mengangkat harkat dan martabat rakyat.

Berdasarkan sejarah pergerakan nasional, hakikat "pemimpi" adalah pengkhianat dengan dua nomena. Pertama, dengan segenap sekutunya para "pemimpi" itu menggiring kehidupan berbangsa dan bernegara menyimpang dari cita-cita proklamasi kemerdekaan RI 1945 yang telah dirintis sejak awal abad XX oleh para patriot bangsa dengan seluruh pengorbanannya. Kedua, mereka juga telah menciptakan tatanan ketidakadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Dua nomena itu, sebagai fenomena, muncul dalam banyak aneka wujud, tetapi selalu dimentahkan dan dikaburkan oleh para "pemimpi" sebagai agen-agen antireformasi total 1998 yang oportunistik. Para oportunis ini agaknya tidak tahu (karena bodoh atau buta sejarah) atau pura-pura tidak tahu (karena kepentingannya terganggu) tentang hakikat keindonesiaan dan orientasi RI, sebagaimana dicita-citakan pendiri bangsa.

Tatanan politis prorakyat, oleh para "pemimpi" dan semua kliknya diselewengkan, dimanipulasi, dan dibengkokkan menjadi tatanan politis hari-hari ini yang tidak prorakyat meski pawai retorika para "pemimpi" berkata sebaliknya. Jadi, partai-partai politik dengan ideologi apapun sebagai perkakas pemimpi, sejatinya badut-badutan belaka. Pasalnya, ujung ideologi pemimpi hanyalah oportunisme atau paling dari jenis pendekatan yang paling konyol.

Para "pemimpi" memang tengah bermimpi di arena kekuasaan yang dihiasi oleh lampion-lampion menawan hati. Politik praktis telah mereka telah menjelma menjadi surga dunia membuat mereka lupa akan amanat rakyat pemberi amanat. Berbagai bentuk penyelewengan berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah dramaturgi kesempatan untuk memperkaya diri sepuasnya. Karena disadari atau tidak, mereka pun mengerti bahwa kesempatan itu jarang dating dua kali.

Maka logis jika tatanan politik di bawah kendali para "pemimpi" yang ahistoris itu, pada sektor ekonomi misalnya, ujungnya hanya menguntungkan para penguasa di semua tingkat (makin tinggi tingkat makin bergelimang dolar) dan kaum saudagar serta segenap klik lainnya. Mereka dapat kursi basah dengan suguhan roti empuk, sedangkan rakyat jelata dapat remeh-temehnya. Padahal RI kaya raya. Satu pernik kecil dalam lautan penghasilan Negara, sebagai contoh, ada satu sentra industri tambang di Tanah Air yang mampu setor 7 juta dolar AS ke pemerintah RI, bukan tiap tahun, tapi tiap hari.

Kenyataan itu menandai kemenangan "pemimpi" atas pemimpin. Ini tampak antara lain dalam dua gejala. Pertama, dengan banyak pesan yang dangkal, heboh, mengecoh, dan dominasi para "pemimpi" menggiring kehidupan berbangsa dan bernegara menuju politik "kanan". Kedua, 1001 perbendaharaan nilai dan terminologi berwatak "kanan" tiap hari dipromosikan, membodohi benak publik, dengan segala cara, antara lain lewat strategi media gaya koboi dan mafia. Mafia hukum, pendidikan, ekonomi, dan segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Sosialisme ala Indonesia

Sejarah kita mencatat: perintis patriot bangsa Indonesia terdiri atas banyak suku, agama, ras, dan banyak paham hidup: berbagai isme termasuk kiri dan kanan terpadu bahu-membahu, berproses dinamis saling memberi masukan, demi tujuan Indonesia Raya, negeri yang makmur sentosa, berwibawa dalam pergaulan dunia.

Dalam konteks dinamika saling memberi masukan itulah lahir Pancasila sebagai penyelaras konflik kiri dengan kanan. Salah satu butirnya, sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (oleh Bung Karno disebut sosialisme ala Indonesia) adalah hasil pergulatan panjang penggalian memadukan Declaration of Independence dan Manifesto Komunis yang membelah dunia dalam Blok Barat dan Blok Timur yang amat melelahkan.

Bung Karno pernah mengatakan: Hari depan revolusi Indonesia bukanlah menuju ke kapitalisme, dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme.... Hari depan revolusi Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur atau... sosialisme Indonesia (Oejito, RS Jitno, SP Kentjono, Doktrin Revolusi Indonesia, 1963).

Di tengah kekacauan situasi politik, ekonomi, sosial, hukum, keamanan di Indonesia, segalanya menjadi tidak pasti kecuali satu hal; bahwa sebagai kaum sosialis sudah seharusnya berdiri secara pasti di atas keyakinan dan kekuatan diri sendiri bersama kelas-kelas tertindas yang berjejalan di negeri ini.

Sudah bukan berita aneh lagi ketika kita mendengar terjadi kasus korupsi di Indonesia, juga dengan hukumannya yang tergolong ringan dibanding nominal yang telah dikurasnya. Fenomena ini terjadi saat terdakwa berasal dari golongan orang yang sakunya tebal. Namun, tatkala terdakwa berasal dari rakyat kecil, hukum pun diterapkan tanpa hati nurani.

Kita setuju, mencuri, korupsi, dan kenakalan lainnya adalah perbuatan tercela yang pantas mendapatkan hukuman. Akan tetapi, pantaskah ketika hukuman tegas tersebut hanya diberikan kepada rakyat kecil? Ketika golongan berduit yang mencuri uang rakyat, bahkan ketika kerugian yang ditimbulkannya jauh lebih besar dibanding nominal curian sang rakyat kecil, hukuman yang diberikan terkesan lebih ringan.

Hukum di negeri ini cenderung tidak berdaya melawan penguasa dan pemilik modal. Para elite negeri ini dapat dengan mudah berkelit dari jeratan hukum, menggunakan kekuasaan dan uang yang ia miliki. Bahkan tidak hanya perangkat hukumnya, aparat penegak hukum juga pemerintah saat ini kurang memiliki keberpihakan terhadap rakyat kecil. Negeri ini lebih didominasi oleh para "pemimpi" dibanding para pemimpin.
(Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan STAI Alazhari Cianjur)**
Galamedia
Oleh : ACEP HERMAWAN

Wednesday, May 23, 2012

Kunci Kebajikan

, Oleh Prof Dr Achmad Satori Ismail

Diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah al-Bajalli bahwa seorang laki-laki dari golongan Anshor datang kepada Rasulullah SAW membawa sejumlah emas yang memenuhi dua telapak tangannya. Ia berkata, “Emas ini aku sedekahkan fi sabilillah.” Lalu, Abu Bakar RA berdiri dan memberikan sedekah, kemudian disusul Umar RA. Tak lama, orang-orang Muhajirin berdiri dan semua bersedekah.

Rasulullah SAW tersenyum sehingga tampak kecerahan di wajahnya dan kedua pipinya. “Barang siapa yang membuat sunah (kebiasaan), baik dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang-orang setelahnya, maka baginya pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barang siapa yang membuat sunah kejahatan dalam Islam dan ditiru setelahnya, maka akan mendapat dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun.” (HR al-Hakim, Musnad as-Shohabah dalam Kutub Tis’ah, juz 39, hlm 108).

Laki-laki Anshor dalam hadis di atas dianggap sebagai pembuka pintu kebajikan karena mendorong para sahabat lain untuk bersedekah. Sebaliknya, kalau ada orang yang memberikan contoh kejahatan, dia akan menerima semua dosa orang-orang yang mengikutinya.

“Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS Yasiin: 12 dan an-Nahl: 25).

Qabil adalah orang pertama yang mencontohkan pembunuhan di dunia. Karenanya, semua dosa pembunuhan yang dilakukan orang lain yang menirunya sampai hari kiamat akan dipikulkan atas Qabil.

Kebajikan memiliki banyak gudang sebagaimana kejahatan memiliki gudang-gudang. Di antara gudang kebajikan adalah yayasan pendidikan Islam, ormas yang memperjuangkan Islam, dan pemimpin Islami.

Bila seorang pemimpin mencontohkan kebajikan atau menyuruh rakyatnya untuk melakukan kesalehan, dia adalah kunci pembuka kebajikan yang akan mendapatkan pahala kesalehan semua orang yang mengikutinya. Betapa besar pahala para pemimpin bila saleh dan adil.

Tapi sebaliknya, bila pemimpin seperti Firaun yang mencegah orang mengikuti Nabi Musa AS apalagi mengaku sebagai Tuhan, akan ditimpakan atasnya semua dosa yang tersesat karenanya.

“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi kunci pembuka pintu kebajikan dan menjadi penutup pintu kejahatan. Dan di antara mereka ada yang menjadi kunci pintu kejahatan dan penutup pintu kebajikan. Berbahagialah orang yang dijadikan Allah sebagai pembuka kebajikan dan celakalah orang yang menjadi pembuka pintu kejahatan.” (HR Ibnu majah).

Lembaga pendidikan Islam yang mengader generasi Muslim kafah adalah gudang kebajikan karena di dalamnya terdapat guru-guru yang mengajar agama, anak santri, dan pegawai yang bekerja ikhlas. Semua orang yang terlibat dalam mengurusi lembaga seperti ini dianggap sebagai pembuka pintu kebajikan.

Semoga kita menjadi kunci pembuka gudang kebajikan dalam semua situasi dan kondisi. Aamiin.


sumber : www.republika.co.id

Tuesday, May 22, 2012

Inilah Adab Belajar Menurut Islam

, Oleh Muhbib Abdul Wahab

Hakikat hidup adalah belajar. Hakikat belajar adalah proses transformasi diri menuju peningkatan kapasitas intelektual, keluhuran moral, kedalaman spiritual, kecerdasan sosial, keberkahan profesional, dan perubahan sosial menuju khaira ummah (umat terbaik). Dengan belajar, manusia bisa hidup bermartabat dan membangun peradaban yang bersendikan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Perintah Allah SWT yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW adalah membaca. (QS al-Alaq [96]:1-6). Perintah ini sangat penting karena inti belajar adalah membaca. Tidak ada proses pembelajaran yang tidak melibatkan aktivitas pembacaan. Dalam Islam, belajar adalah ibadah. "Menuntut ilmu itu (belajar) wajib bagi Muslim dan Muslimah." (HR Muslim).

Perintah membaca tersebut sarat dengan adab (etika) mulia. Tidak semua membaca itu disebut belajar atau mencari ilmu. Alquran mula-mula mengaitkan perintah membaca dengan bismi rabbik (atas nama Tuhanmu). Artinya, adab belajar mengharuskan pelajar untuk meneguhkan niat yang ikhlas karena semata-mata mengharap ridha Allah SWT, agar ilmu yang diperoleh membuahkan keberkahan dan memberi manfaat bagi orang lain.

Imam Syafi’i (150- 204 H) pernah “curhat” kepada gurunya, Waqi’ mengenai hafalannya yang buruk. Sang guru menasihatinya agar meninggalkan maksiat. Kata sang guru, ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat. Dengan demikian, belajar harus jauh dari perbuatan maksiat agar apa yang dipelajari menjadi “cahaya” yang dapat menerangi jalan hidup si pembelajar.

Selain bismi rabbik dan menjauhi maksiat, pelajar juga harus senantiasa berperilaku yang baik (husnul adab), rajin, tekun, rendah hati, dan selalu mengamalkan ilmunya. “Ilmu yang tidak diamalkan itu bagaikan pohon yang tidak berbuah.”

Imam Syafi’i juga menegaskan bahwa ilmu itu bukan yang dihafal dalam pikiran, tetapi yang bermanfaat dalam perbuatan. Sabda Nabi SAW, “Siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah petunjuknya (amalnya tidak semakin baik), maka ia hanya akan semakin jauh dari Allah.” (HR ad-Darimi).

Belajar menuntut optimalisasi kecerdasan, kesungguhan, ketekunan, dan kesabaran karena belajar itu bukan merupakan proses yang instan, (langsung berilmu) tetapi memerlukan kerja ikhlas, keras, dan cerdas.

Imam Syafi’i, pernah bersyair, “Engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali terpenuhinya enam hal, yaitu: kecerdasan, antusiasme (kesungguhan), kesabaran, bekal yang cukup, bimbingan guru, dan waktu yang lama.”

Jadi, belajar itu bukan sekadar datang ke sekolah atau kampus untuk mendengar dan mencatat apa yang disampaikan guru, melainkan juga berusaha mengembangkan pemikiran, pengetahuan, kepribadian, moralitas, dan profesionalitas.

Karena belajar itu ibadah, maka menurut Imam Ja’far as-Shadiq, belajar itu harus dimulai dengan thaharah (pembersihan diri) dan berwudhu agar terhindar dari godaan setan. Adab lainnya adalah menghormati guru dan ulama. Seorang pelajar juga dianjurkan untuk berlapang dada (toleran) dalam menghadapi perbedaan pendapat dan pemikiran. Wallahu a’lam


sumber : www.republika.co.id

Pengaruh Film pada Pencitraan Budaya

SEJAK masuk pada 2000 lalu, film Korea memiliki tempat istimewa dalam benak masyarakat Indonesia. Setidaknya, ada empat stasiun televisi swasta yang menayangkan film-film dari negeri ginseng itu. Mulai dari yang bertema cinta, penghianatan, peperangan, hingga sejarah.

Mula-mula hanya film, kemudian berkembang lagi fenomena musik-musik bergenre Korea. Hingga sebgian kalangan remaja Indonesia pun mengalami demam boy band dan girl band. Bahkan, sekarang Korean style membanjiri berbagai pusat perbelanjaan. Tak cukup dengan fashion dan musik, gaya bermake up, dan gaya rambut, gaya berbicara pun jadi trendsetter.

Bayangkan, mulai dari bahasa, budaya, dan pemikiran mereka transformasikan ke dalam film. Tapi rupa-rupanya penduduk Indonesia, menganggap fenomena ini biasa-biasa saja, bahkan mereka tidak sadar sedang terpengaruh budaya Korea dan mulai "menghapus" budaya sendiri.

Korea memang tidak salah, menjadikan film sebagai market budaya. Kitalah yang salah, yang tak mampu menyaring maupun membatasi peredarannya --Setidaknya dengan lebih mendukung film-film dalam negeri agar persaingan bisa berimbang. Karena, jalan cerita tidak kalah jauh. Dari segi propaganda budaya kita bahkan tak tahu cara menyisipkan budaya dalam film. Dalam segi bahasa, Indonesia lebih sering menggunakan bahasa campuran atau bahasa gaul yang membuat bahasa Indonesia menjadi bias.

Jika film Korea mampu membuat film yang memotivasi, misalnya saja "The Great of Queen Seondeok", "Jewel in The Palace", "Jumong Prince of The Legend", dan "Dong Yi", maka Indonesia hanya mampu membuat beberapa filem, sebuat saja diantaranya "Laskar Pelangi" dan "Garuda di Dadaku" yang hanya disiarkan dalam layar lebar yang tak semua orang bisa menikmatinya.

Selain film Korea, kehadiran film Barat yang mulai disiarkan di era 1990-an juga makin mengancam dunia perfilm-an tanah air. Mulai dari jam 05.00 WIB hingga 09.30 WIB, penonton sudah disuguhi kartun-kartun dari Eropa dan Jepang. Lalu pada pukul 5 sore kembali kartun-kartun dari negeri lain diputar, dilanjutkan dengan film-film layar lebar bergenre barat yang kerap ditayangkan mulai pukul 8 malam.

Total dipotong dengan program news dan kuis, hanya 7 jam masyarakat disuguhi film-film buatan Indonesia, itupun hanya sinetron dan FTV. Jika hal ni terus berlangsung, bukan tidak mungkin dua atau tiga tahun mendatang, program film atau sinetron Indonesia yang tayang hanya 4-5 jam saja.

Teori Jarum Suntik

Fenomena film-film Barat masuk ke Indonesia sama dengan fenomena Korea masuk ke Indonesia. Dengan film "Rambo" Amerika dan negara barat lainnya, mampu menyuntikkan dogma-dogma barat dalam pemikiran masyarakat kita. Mereka mampu membuat kita percaya, bahwa negara barat adalah pusatnya ilmu pengetahuan dan kekayaan. Nyatanya, semua itu hanyalah film yang sudah di konstruksi. Dibangun atas dasar-dasar filosofi dan tujuannya.

Produk-produk Eropa dan Amerika mulai membanjiri dan digemari Indonesia. Dari celana jeans hingga berbagai model bra. Semua yang berbau Amerika dan berlogo barat pasti jadi serbuan. Kita telah terkena oleh imabas teori jarum suntik (hipodermik) yang dicetuskan Wilbur Schram pada 1950-an mulai terlihat.

"Media massa sebagai jarum suntik raksasa yang menusukkan message ke dalam khalayak yang pasif. Media massa dianggap punya pengaruh yang sangat kuat terhadap tingkah laku manusia. Media yang kuasa ini, menyampaikan message kepada massa yang menunggu untuk menerimanya tanpa ada yang memersoalkan." Tulis Schram.

Media massa, baik itu elektronik maupun cetak terus menyiarakan tayangan berbau Korea, hingga secara tidak sadar, masyarakat Indonesia (sebagai udiens) terus mengupdate segala sesuatu tentang Korea, tanpa memikirkan baik buruknya. Kita tidak sadar bahwa kita sudah mengikuti seluruh gaya Korea dan Eropa.

Lahirnya teori jarum suntik inipun didasaran pada perubahan sikap, gaya, dan moral anak anak Amerika yang keranjingan film. Sama dengan Indonesia, masyarakat Amerika pada waktu itu, juga tidak mampu membendung keinginannya untuk menyamai gaya-gaya dalam film yang mereka tonton.

Ini patut diwaspadai, mengingat film mampu menjadi market budaya. Jika aliran budaya dari luar negeri terus membanjiri negeri kita, maka budaya sendiri lambat laun akan tersisihkan. Ruang gerak sineas kita akan menjadi sempit dan cenderung mengikuti aliran film yang digemari. Penonton lebih suka gaya Korea, maka kita juga mencontoh gaya-gaya Korea.

Indonesia tidak sadar bahwa dirinya telah dijajah secara budaya dan bahasa. Inilah yang disebut oleh Eriyanto dalam bukunya "Analisis Wacana". "Media adalah sumber dari kekuasaan hegemonik, dimana kesadaran khalayak dikuasai. Media juga dapat menjadi sumber legitimasi, dimana lewat media, mereka yang berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak absah. Proses semacam itu melibatkan suatu usaha pemaknaan yang terus menerus yang diantaranya dilakukan lewat pemberitaan, sehingga khalayak tanpa sadar terbentuk kesadarannya dengan paksa," kata Eriyanto.

Dalam perkara film barat dan film Korea, media yang dimaksudkan Eriyanto adalah Film yang mampu menguasai kesadaran masyarakat Indonesia. Pemutaran film-film Korea dan barat juga menjadi sebuah pemaknaan yang terus menerus, hingga masyarakat Indonesia tanpa sadar telah membentuk sebuah kesadaran baru bahwa kebudayaan Korea dan barat dianggap lebih baik dari budaya kita sendiri.

Masyarakat Indonesia mesti lebih bijak lagi dalam menonton, mendukung perfilman negeri sendiri lebih baik dibanding bergumul membicarakan film-film negera lain.
(Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik Stikom Bandung)**
Galamedia jumat, 11 mei 2012 01:48 WIB
Oleh : RINI AGUSTINA

Politik Para Pemimpin



SEJAK merdeka sampai hari ini, kekuasaan di negeri kita dikendalikan oleh para "pemimpi" dan pemimpin. Yang pertama adalah mereka yang bercokol di semua lini yang dengan lantang menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi justru menistakan kepentingan rakyat, malah tampil menjadi "penjuang" koruptor dan penjahat-penjahat lain dengan aneka macam wujud kenistaan tingkah lakunya. Yang kedua adalah mereka yang dengan sepenuh hati mencurahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, baik material maupun spiritual, untuk kepentingan rakyat. Pengorbanan mereka tidak semu, tetpi atas nama idealisme unruk mengangkat harkat dan martabat rakyat.

Berdasarkan sejarah pergerakan nasional, hakikat "pemimpi" adalah pengkhianat dengan dua nomena. Pertama, dengan segenap sekutunya para "pemimpi" itu menggiring kehidupan berbangsa dan bernegara menyimpang dari cita-cita proklamasi kemerdekaan RI 1945 yang telah dirintis sejak awal abad XX oleh para patriot bangsa dengan seluruh pengorbanannya. Kedua, mereka juga telah menciptakan tatanan ketidakadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Dua nomena itu, sebagai fenomena, muncul dalam banyak aneka wujud, tetapi selalu dimentahkan dan dikaburkan oleh para "pemimpi" sebagai agen-agen antireformasi total 1998 yang oportunistik. Para oportunis ini agaknya tidak tahu (karena bodoh atau buta sejarah) atau pura-pura tidak tahu (karena kepentingannya terganggu) tentang hakikat keindonesiaan dan orientasi RI, sebagaimana dicita-citakan pendiri bangsa.

Tatanan politis prorakyat, oleh para "pemimpi" dan semua kliknya diselewengkan, dimanipulasi, dan dibengkokkan menjadi tatanan politis hari-hari ini yang tidak prorakyat meski pawai retorika para "pemimpi" berkata sebaliknya. Jadi, partai-partai politik dengan ideologi apapun sebagai perkakas pemimpi, sejatinya badut-badutan belaka. Pasalnya, ujung ideologi pemimpi hanyalah oportunisme atau paling dari jenis pendekatan yang paling konyol.

Para "pemimpi" memang tengah bermimpi di arena kekuasaan yang dihiasi oleh lampion-lampion menawan hati. Politik praktis telah mereka telah menjelma menjadi surga dunia membuat mereka lupa akan amanat rakyat pemberi amanat. Berbagai bentuk penyelewengan berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah dramaturgi kesempatan untuk memperkaya diri sepuasnya. Karena disadari atau tidak, mereka pun mengerti bahwa kesempatan itu jarang dating dua kali.

Maka logis jika tatanan politik di bawah kendali para "pemimpi" yang ahistoris itu, pada sektor ekonomi misalnya, ujungnya hanya menguntungkan para penguasa di semua tingkat (makin tinggi tingkat makin bergelimang dolar) dan kaum saudagar serta segenap klik lainnya. Mereka dapat kursi basah dengan suguhan roti empuk, sedangkan rakyat jelata dapat remeh-temehnya. Padahal RI kaya raya. Satu pernik kecil dalam lautan penghasilan Negara, sebagai contoh, ada satu sentra industri tambang di Tanah Air yang mampu setor 7 juta dolar AS ke pemerintah RI, bukan tiap tahun, tapi tiap hari.

Kenyataan itu menandai kemenangan "pemimpi" atas pemimpin. Ini tampak antara lain dalam dua gejala. Pertama, dengan banyak pesan yang dangkal, heboh, mengecoh, dan dominasi para "pemimpi" menggiring kehidupan berbangsa dan bernegara menuju politik "kanan". Kedua, 1001 perbendaharaan nilai dan terminologi berwatak "kanan" tiap hari dipromosikan, membodohi benak publik, dengan segala cara, antara lain lewat strategi media gaya koboi dan mafia. Mafia hukum, pendidikan, ekonomi, dan segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Sosialisme ala Indonesia

Sejarah kita mencatat: perintis patriot bangsa Indonesia terdiri atas banyak suku, agama, ras, dan banyak paham hidup: berbagai isme termasuk kiri dan kanan terpadu bahu-membahu, berproses dinamis saling memberi masukan, demi tujuan Indonesia Raya, negeri yang makmur sentosa, berwibawa dalam pergaulan dunia.

Dalam konteks dinamika saling memberi masukan itulah lahir Pancasila sebagai penyelaras konflik kiri dengan kanan. Salah satu butirnya, sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (oleh Bung Karno disebut sosialisme ala Indonesia) adalah hasil pergulatan panjang penggalian memadukan Declaration of Independence dan Manifesto Komunis yang membelah dunia dalam Blok Barat dan Blok Timur yang amat melelahkan.

Bung Karno pernah mengatakan: Hari depan revolusi Indonesia bukanlah menuju ke kapitalisme, dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme.... Hari depan revolusi Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur atau... sosialisme Indonesia (Oejito, RS Jitno, SP Kentjono, Doktrin Revolusi Indonesia, 1963).

Di tengah kekacauan situasi politik, ekonomi, sosial, hukum, keamanan di Indonesia, segalanya menjadi tidak pasti kecuali satu hal; bahwa sebagai kaum sosialis sudah seharusnya berdiri secara pasti di atas keyakinan dan kekuatan diri sendiri bersama kelas-kelas tertindas yang berjejalan di negeri ini.

Sudah bukan berita aneh lagi ketika kita mendengar terjadi kasus korupsi di Indonesia, juga dengan hukumannya yang tergolong ringan dibanding nominal yang telah dikurasnya. Fenomena ini terjadi saat terdakwa berasal dari golongan orang yang sakunya tebal. Namun, tatkala terdakwa berasal dari rakyat kecil, hukum pun diterapkan tanpa hati nurani.

Kita setuju, mencuri, korupsi, dan kenakalan lainnya adalah perbuatan tercela yang pantas mendapatkan hukuman. Akan tetapi, pantaskah ketika hukuman tegas tersebut hanya diberikan kepada rakyat kecil? Ketika golongan berduit yang mencuri uang rakyat, bahkan ketika kerugian yang ditimbulkannya jauh lebih besar dibanding nominal curian sang rakyat kecil, hukuman yang diberikan terkesan lebih ringan.

Hukum di negeri ini cenderung tidak berdaya melawan penguasa dan pemilik modal. Para elite negeri ini dapat dengan mudah berkelit dari jeratan hukum, menggunakan kekuasaan dan uang yang ia miliki. Bahkan tidak hanya perangkat hukumnya, aparat penegak hukum juga pemerintah saat ini kurang memiliki keberpihakan terhadap rakyat kecil. Negeri ini lebih didominasi oleh para "pemimpi" dibanding para pemimpin.
(Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan STAI Alazhari Cianjur)**
Galamedia
Oleh : ACEP HERMAWAN

Monday, May 21, 2012

Inilah Penyebab Utama Lemahnya Umat Islam

, Dari Tsauban, ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkok.’ Seorang laki-laki berkata, ‘Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?’

Beliau menjawab, ‘Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut (para musuh) kepada kalian, dan akan menanam kn ke dalam hati kalian al-Wahn.’ Seseorang lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu al-Wahn?’ Beliau menjawab, ‘Cinta dunia dan takut mati’.” (HR Abu Daud)

Konstruksi bangunan sosial Islam pernah mencapai puncak kejayaan dan kegemilangannya ketika keseimbangan cara hidup umat Islam berpandukan kitab suci dan tuntunan sunah Rasul- Nya. Sayangnya, tradisi sosial itu telah tergeser oleh nilai-nilai materialisme, yakni sistem sosial yang berorientasi dan didasari ukuran-ukuran materi.

Dalam kondisi demikian, sesungguhnya sistem sosial itu dianggap sakit karena telah terjadi penyimpangan perilaku sosial, menyimpang dari sistem tauhid kepada sistem materialisme. Bentuk konkret dari sistem sosial yang sakit adalah seperti yang digambarkan oleh hadis Tsauban di atas. Umat Islam adalah segerombolan orang yang terserang penyakit berbahaya, yakni cinta dunia dan takut mati.

Penyakit yang disebut dengan istilah al-Wahnini digambarkan sebagai bangsa yang tidak berdaulat secara politik, hukum, mili ter, dan ekonomi sehingga dengan mudahnya para kolonial bangsa ini menguasai aset-aset bangsa Indo nesia yang mayoritasnya umat Islam. Sebab lainnya adalah seperti yang digambarkan hadis lain Rasulullah.

“Akan datang suatu zaman di mana tidak tersisa dari Islam, kecuali tinggal namanya saja, tidak tersisa dari Alquran kecuali tinggal tulisannya saja, masjid-masjid mereka megah dan semarak, tetapi jauh dari petunjuk Allah, ulama- ulama mereka menjadi manusia- manusia paling jahat yang hidup di bawah kolong langit, dari mulut mereka ke luar fitnah dan akan kembali kepada mereka.” (HR Baihaqi)

Hadis di atas menjelaskan lebih spesifk lagi sebab dari lemahnya umat Islam sehingga Islam tinggal simbol dalam bentuk nama belaka. Pertama, Alquran hanya tinggal tulisannya karena telah kehilangan fungsinya sebagai petunjuk dan dan panduan hidup.

Kedua, masjid-masjid jauh dari petunjuk Allah karena bukan Allah yang diseru dan bukan kepentingan Allah yang diperjuangkan di dalamnya.

Ketiga, ulama-ulama sudah menjadi penjahat yang paling jahat di bawah langit dan dari mulut mereka keluar fitnah-fitnah yang membaha yakan diri mereka sen diri, karena berbicara dan berfatwa berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan kerdil duniawi. Wallahu a’lam bish shawab.


Dikutip dari konsultasi agama Harian Republika yang diasuh Ustaz Bachtiar Nasir


sumber : www.republika.co.id

Sunday, May 20, 2012

Kehilangan Berkah

, Oleh Prof Yunahar Ilyas

Pesta itu baru saja usai. Kerabat dan kenalan kembali ke rumah masing-masing. Pengusaha muda yang sukses itu baru saja mengadakan acara tasyakuran peresmian dua rumah yang baru saja dibelinya. Dua rumah yang bersebelahan itu berada di sebuah kompleks perumahan mewah.

Semua ikut merasa gembira mensyukuri rezeki yang dianugerahkan Allah SWT kepada pengusaha muda itu. Semua tahu 10 tahun lalu hidupnya masih susah. Ia tinggal di rumah kontrakan, penghasilan pas-pasan, ke mana-mana naik angkutan umum. Sekarang ia punya ruko, beberapa buah mobil, dan perusahaan yang sedang maju pesat.

Sehabis shalat Zuhur, pengusaha muda itu mengantarkan bapak kandung dan ibu tirinya ke terminal bus antar provinsi. Ibu kandungnya sudah lama meninggal dunia. Setelah itu, dia meluncur kembali ke rumah. Rupanya Allah berkehendak lain. Tiba-tiba ia terkena serangan jantung dan nyawanya tidak tertolong.

Pengusaha muda yang baru berumur 42 tahun itu meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit. Segera para kerabat diberi tahu. Banyak yang tidak percaya, baru kemarin berkumpul bersama dengan penuh gelak tawa.

Pada malam ketiga setelah kematian almarhum, diada kan lah musyawarah keluarga menyangkut warisan. Sesuai dengan hukum waris Islam, pembagiannya mudah saja. Bapak dari almarhum dapat 1/6. Istri dapat 1/8 bagian dan anak-anak (satu laki-laki dan tiga perempuan) dapat sisanya dengan komposisi anak laki-laki dapat dua bagian anak perempuan.

Sang bapak akan mendapat warisan yang lumayan banyak. Sudah terbayang dalam pikiran orang tua itu bahwa uang tersebut akan digunakan untuk membangun masjid, pergi haji sekali lagi, sebagian akan dibagikannya kepada anak-anak saudara almarhum. Tapi, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Istri almarhum keberatan memberikan bagian warisan kepada mertuanya.

Begitulah sisi buruk manusia, keserakahan segera muncul mengalahkan kepatuhannya terhadap hukum Allah. Padahal, peninggalan almarhum sangat banyak, lebih dari cukup untuk keperluan pendidikan anak-anak.

Sudah banyak kerabat mengingatkan, seperenam peninggalan almarhum tidak halal dimilikinya karena itu bukan haknya. Tapi, dia tetap kukuh pada keputusannya, hingga orang tua itu meninggal dunia tujuh tahun kemudian tanpa pernah menerima bagiannya.

Perempuan itu mencoba bertahan membesarkan anak sendirian. Dia takut menikah lagi karena khawatir dapat suami yang akan menghabisi hartanya. Tetapi, karena tidak memiliki ilmu dan pengalaman, di tangannya perusahaan suaminya lama-lama semakin menurun.

Akhirnya, dia putuskan menikah dengan harapan dapat suami yang akan mendampinginya mengelola perusahaan. Sayang dia tertipu, ternyata suami barunya penjudi. Perusahaan jatuh bangkrut dan kekayaannya habis tak bersisa. Bisnis berhenti, sementara utang menumpuk di bank. Demikianlah, harta yang haram tidak akan mendatangkan berkah, bahkan bisa membawa habis harta yang halal.


sumber : www.republika.co.id

Saturday, May 19, 2012

Menjaga Diri dari Sifat Serakah

, Oleh: Prof Yunahar Ilyas

Pagi itu beberapa orang berkerumun di Balai Desa Qudaid, pinggir kota sebelah utara Makkah. Seorang laki-laki dengan tergesa-gesa menyampaikan satu pengumuman: “Barang siapa yang berhasil membawa Muhammad hidup atau mati ke Makkah, akan mendapatkan hadiah seratus ekor unta betina muda.”

Sayembara itu diadakan oleh para pembesar Quraisy setelah mereka putus asa tidak bisa menemukan Muhammad. Mereka telah mencarinya ke mana-mana, bahkan sampai ke bukit Tsur, sebelah selatan Makkah, namun mereka tak menemukannya.

Mendengar pengumuman itu, Suraqah bin Malik al-Madlaji, bertekad memenangkan hadiah itu. Segera dia menyusun strategi. Tak lama, datang seseorang ke balai desa menyatakan bahwa belum lama berselang dia bertemu dengan tiga orang di tengah jalan. Dia yakin itulah Muhammad, Abu Bakar, dan seorang penunjuk jalan.

Dalam hati Suraqah gembira dengan petunjuk itu, tetapi untuk mengecoh yang lain dia pura-pura menolaknya. “Tidak mungkin,” kata Suraqah tegas. Mereka adalah Banu Fulan yang tadi lewat di sini mencari unta mereka yang hilang.” Tampaknya mereka lebih percaya Suraqah daripada orang yang baru datang itu.

Suraqah segera pulang. Menyiapkan seekor kuda dan menyuruh pelayannya membawa kuda itu sembunyi-sembunyi ke lembah. Suraqah segera ke lembah itu, memakai baju besi, menyandang pedang, lalu memacu kudanya. Sebagai seorang pemburu dan pelacak jejak yang berpengalaman, Suraqah segera menemukan jalur yang ditempuh Nabi Muhammad dan Abu Bakar.

Ia pun berhasil melihat jejak Rasul dan Abu Bakar. Suraqah sangat senang, terbayang seratus ekor unta akan menjadi miliknya. Setelah jaraknya cukup untuk memanah, dia ambil busurnya, tiba-tiba tangannya kaku dan tidak bisa digerakkan. Kaki kudanya terbenam ke pasir.

Dia coba menarik tali kekang kuda ke atas, mendorong kuda itu untuk mengumpulkan tenaga agar dapat mengangkat kakinya. Tapi, kudanya tak mampu berdiri. Suraqah berteriak keras: “Hai kamu berdua! Mohonkanlah kepada Tuhanmu agar Dia melepaskan kaki kudaku. Aku berjanji tidak akan mengganggu kalian.” Lalu Nabi berdoa, maka terbebaslah kaki kuda Suraqah dari pasir.

Tetapi, karena sifat tamak dan serakahnya, membayangkan seratus ekor unta betina muda, Suraqah mengingkari janjinya. Dia kembali memacu kudanya untuk menyerang Nabi. Namun, tiba-tiba peristiwa semula terjadi kembali, kaki kudanya terbenam lagi di pasir, kali ini lebih dalam.

Suraqah memohon belas kasihan Nabi. “Ambillah perbekalanku, harta, dan senjataku. Aku berjanji akan menyuruh kembali setiap orang yang berusaha melacak kalian di belakangku.”

Nabi segera menjawab permohonan Suraqah, “Kami tidak butuh perbekalan dan hartamu. Cukuplah kalau engkau suruh kembali orang-orang yang hendak melacak kami.”

Kemudian, Nabi berdoa agar kuda Suraqah terbebas dari pasir. Kali ini Suraqah menepati janjinya. Dia pergi meninggalkan Nabi SAW dan Abu Bakar. Sebelum pergi dia kembali mengulangi janjinya, “Demi Allah. Saya tidak akan mengganggu tuan-tuan lagi.”

Belajar dari pengalaman, sebagai seorang Muslim, marilah kita menjaga diri kita dari sifat tamak dan serakah. Keserakahan justru akan membuat kita celaka dan sengsara. Wallahu a’lam.


sumber : www.republika.co.id

Friday, May 18, 2012

Memaknai Takdir dalam Kecelakaan Pesawat Sukhoi

, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
 
Selama sepekan, publik Indonesia dikejutkan pemberitaan jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor. Sekitar 45 orang dipastikan meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat buatan pabrikan Rusia itu.

Kesedihan semakin mendalam tatkala hingga pekan ini, proses evakuasi dan identifikasi korban meninggal yang dilakukan Tim SAR belum selesai. Media baik cetak dan elektronik terus mengulang-ulang proses evakuasi dan identifikasi jenazah korban. Tentu saja, kondisi ini membuat keluarga korban semakin dirundung kesedihan. Simpati pun berjatuhan dari masyarakat Indonesia.

Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Allah yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Allah, yaitu informasi Allah melalui Alquran dan hadis.

Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi. Untuk memahami konsep takdir, jadi umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.

Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah terjadi.

Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinilainya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah SWT juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).
           
Takdir memang takdir. Tetapi tidak semua kejadian yang menimpa kita merupakan takdir dari Allah SWT. Semoga dibalik semua itu kita dapat memetik pelajaran berharga.


sumber : www.republika.co.id

Thursday, May 17, 2012

Tujuh Indikator Kebahagiaan

, Oleh: Ustaz Erick Yusuf

Ibnu Abbas RA adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang dijuluki Turjumaanul Qur’an (ahli menerjemahkan Alquran). Dia sangat telaten menjaga dan melayani Rasulullah SAW. Dia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW. Pada usia sembilan tahun Ibnu Abbas telah hafal Alquran dan telah menjadi imam di masjid.
 
Sejak kecil Ibnu Abbas sudah menunjukkan kecerdasan dan semangatnya menuntut ilmu. Beragam gelar diperolehnya. Seperti faqih al-ashr (ahli fikih di masanya), imam al-mufassirin (penghulu ahli tafsir), dan al-bahr (lautan ilmu).

Suatu hari, ia ditanya seorang tabiin (generasi sesudah para sahabat) mengenai kebahagiaan dunia. Ibnu Abbas menjawab ada tujuh indikator kebahagiaan dunia. Pertama, hati yang selalu bersyukur. Selalu menerima apa yang diberikan Allah SWT dengan ikhlas. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” (QS al-Mu’minun [23]: 1).

Kedua, pasangan hidup yang saleh. Pasangan saleh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang saleh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada keshalehan. Sebaliknya, istri yang shalehah akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suami dan anak-anaknya.

Ketiga, anak yang shaleh. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara; sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya." (HR Muslim).

Rasulullah SAW pernah menjawab pertanyaan seorang anak muda yang selalu menggendong ibunya yang uzur. “Ya Rasulullah, apakah aku termasuk berbakti pada orang tua?” Rasulullah SAW menjawab, “Sungguh Allah ridha kepadamu, kamu anak shaleh, berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orang tuamu tidak akan terbalaskan olehmu.”

Keempat, lingkungan yang kondusif untuk iman kita. (QS at-Taubah [9]: 119). Rasulullah SAW juga mengajarkan agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasihati kita. Pentingnya bergaul dengan orang shaleh, dapat kembali membangkitkan semangat keimanan.

Kelima, harta yang halal. Dalam Islam kualitas harta adalah yang terpenting, bukan kuantitas harta. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam Bab Shadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus, namun sayang makanan, minuman, dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan.”

Keenam, semangat memahami agama. Semakin belajar, semakin cinta kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan menghidupkan hatinya.

Ketujuh, umur yang berkah. Semakin tua semakin shaleh, yang setiap detiknya diisi amal ibadah. Orang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, hari tuanya akan sibuk berangan-angan. Hatinya kecewa bila tidak mampu menikmati yang diangankannya. Orang yang mengisi umurnya dengan amal ibadah, semakin tua semakin rindu bertemu Allah SWT.


sumber : www.republika.co.id

Tuesday, May 15, 2012

Tragedi Sukhoi dan Solidaritas Kemanusiaan

, Oleh: Prof KH Didin Hafidhuddin

Tragedi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di lereng Gunung Salak, Bogor, pada Rabu, 9 Mei 2012 lalu, sungguh mengejutkan kita semua. Pesawat yang digadang-gadang sebagai pesawat komersial yang paling canggih, nyaman, sekaligus lengkap peralatannya, ternyata hancur berantakan hingga berkepingkeping setelah menabrak lereng Gunung Salak.

Memang penyebab terjadinya tragedi ini masih diselidiki secara saksama, baik oleh Pemerintah RI melalui KNKT, Kemenhub, dan Polri maupun oleh tim lengkap yang datang dari Rusia.

Mudah-mudahan dengan kesungguhan, kejujuran, dan transparan, semua penyebab terjadinya tragedi ini bisa diketahui secara jelas dan terang oleh masyarakat, baik di negara kita maupun dunia internasional. Spekulasi-spekulasi yang berkembang terus tentang penyebab terjadinya musibah ini bisa segera ditepis dan dihilangkan.

Kita berdoa, mudah-mudahan saudara-saudara kita yang meninggal dunia dalam musibah ini, diterima iman, Islam, dan amal ibadahnya, serta diampuni segala dosa dan kesalahannya. Keluarga yang ditinggalkan, mudah-mudahan diberikan keikhlasan, kekuatan, dan kesabaran untuk menerimanya. Dan, semuanya dikembalikan kepada Allah SWT, Zat yang Mahakuasa Pemilik alam semesta ini.

Allah SWT berfirman dalam QS al-Baqarah [2] ayat 156-157. ”(Yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ’Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’ (Sesung guhnya kita adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dari sisi lain, tragedi ini selain mengundang kegalauan, kesedihan, dan keharuan, juga mengundang solidaritas kemanusiaan yang begitu masif. Semua merasa bahwa tragedi itu bukan hanya bagi mereka yang terkena langsung, melainkan juga bagi kita semuanya.

Sungguh sangat indah melihat semangat yang luar biasa untuk menolong sesama, dari tim Basarnas, TNI/Polri, para relawan, bahkan masyarakat biasa. Ribuan orang terlihat secara langsung melakukan evakuasi korban walaupun menghadapi medan yang sangat berat dan sulit.

Beberapa unsur masyarakat, seperti insan pers ataupun anak-anak sekolah dari TK hingga perguruan tinggi, melakukan doa dan zikir bersama. Bahkan, mereka mengerjakan shalat ghaib untuk para korban yang meninggal dunia dalam musibah ini. Suasana religius beberapa hari ini sejak musibah itu terjadi, terasa benar pada masyarakat kita. Semuanya larut dalam duka, yang disertai dengan harapan agar musibah semacam ini tidak terulang kembali.

Solidaritas kemanusiaan ini harus senantiasa kita pupuk dan kita jaga bersama, tidak sekadar pada waktu mendapatkan musibah, tetapi juga pada saat kita semua sedang melakukan upaya untuk perbaikan kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang. Wallahu a’lam.


sumber : www.republika.co.id

Monday, May 14, 2012

Mengedepankan Ihsan

, Oleh Prof Asep S Muhtadi

Sekurang-kurangnya sebelas kali Allah menggunakan kata “ihsan” dalam Alquran untuk  menyebut perbuatan yang baik. Dua di antaranya memakai “alif-lam”, al-ihsan, yaitu pada surah al-Rahman ayat ke-60 dan surah al-Nahl ayat ke-90. Bila diterjemahkan, keduanya berarti kebaikan atau kebajikan.

Yang pertama Allah menjelaskan: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” Sedang yang kedua, penjelasan itu berbunyi: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Demikian pula dalam sembilan ayat lainnya, kata “ihsan” diterjemahkan menjadi suatu kebaikan dan perbuatan baik. Bahkan ayat ke-83 dari surah al-Baqarah, “ihsan” digunakan sebagai pengganti kata  berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana dalam firman-Nya: “Janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah, dan berbuat baiklah (ihsan) kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”

Pada ayat tersebut, Allah menyebut “ihsan” sejajar dengan larangan berbuat syirik, perintah berbuat baik kepada orang tua dan kaum kerabat, berbuat baik kepada fakir miskin dan anak-anak yatim, mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama manusia, serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Secara sederhana dapat dipahami bahwa konsep “ihsan” adalah sama dan sebangun dengan konsep akhlak, baik akhlak kepada Sang Pencipta, maupun akhlak kepada sesama manusia.

Pendeknya, dapat pula diartikan bahwa faktor “ihsan” harus selalu hadir menyertai seluruh perilaku dan perilaku manusiawi. Ihsan sejatinya menjadi napas dan inspirasi dari keseluruhan amal manusia, bersenyawa dengan jenis pekerjaan dan profesi apapun. Karena itu ihsan adalah juga pengendali motif-motif insani yang mendasari keseluruhan tindakan aktivitas yang dilaluinya setiap saat.

Itulah sebabnya, ketika berdialog dengan Rasulullah, Jibril menempatkan pertanyaan tentang ihsan ini pada urutan terakhir setelah iman dan islam. Ihsan dalam hal ini menjadi dimensi penggenap amal setelah seseorang menyatakan keimanan dan melaksanakan serangkaian ajaran seperti disyariatkan Islam. Ihsan merupakan kekuatan moral yang menyempurnakan setiap tindakan.

Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi serta budaya masyarakat saat ini, kita perlu menghidupkan kembali spirit ihsan yang mungkin telah mati, sehingga tidak ada lagi kebijakan, program, dan tindakan yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi ataupun kelompok. Semuanya merupakan implementasi pengabdian hanya kepada-Nya untuk mewujudkan kebaikan.

Kita tidak cukup hanya menjadi seorang pemeluk agama. Beragama  saja tidak cukup. Beragama (Islam) itu harus pula diikuti oleh ber-ihsan. Demikianlah, Allah menjelaskan bahwa: ”(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri (ber-Islam) kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan (ber-ihsan), maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS, 2: 112).
   


sumber : www.republika.co.id

Sunday, May 13, 2012

Pemimpin dan Kejujuran

, Oleh: Cucu Surahman MA

Jujur adalah sifat luhur dan terpuji. Sifat ini sangatlah penting ada pada setiap individu, apakah ia rakyat biasa, lebih-lebih sebagai penguasa. Kejujuran seseorang, selain akan mendatangkan ketentraman bagi dirinya, juga akan memberikan keadilan dan ketenangan bagi orang lain. Nabi Saw bersabda: "Maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan bohong adalah keraguan. (HR. Tirmidzi).

Bertindak jujur memang tidaklah mudah. Apalagi ketika ketamakan duniawi, yang meliputi gengsi, posisi, dan upeti, sudah merasuki diri. Orang seperti ini akan menghalalkan segala cara, termasuk berdusta, demi tercapainya hasrat dan keinginan nafsunya. Demi untuk mendapatkan dunia, orang rela menukar-balikkan fakta. Menukar kebenaran dengan kebohongan, begitu juga sebaliknya.

Hal ini sesuai dengan prediksi Rasulullah Saw.: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, di masa itu para pendusta dibenarkan omongannya sedangkan orang-orang jujur didustakan, di masa itu para pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang terpercaya justru tidak dipercaya, dan pada masa itu muncul Ruwaibidlah, ditanyakan kepada beliau saw. apa itu Ruwaibidlah?  Rasul menjawab: Seorang yang bodoh (yang dipercaya berbicara) tentang masalah rakyat/publik”. (HR. Ibnu Majah).

Kejujuran seorang pemimpin atau pejabat akan menjadi lebih urgen dari orang atau rakyat biasa karena kejujurannya secara positif akan berpengaruh besar terhadap orang banyak, seperti akan terealisasinya pemerataan pembangunan dan kesejahteraan ekonomi. Dan sebaliknya, kebohongan seorang penguasa akan berdampak besar bagi rakyat banyak, tentu dalam bentuknya yang negatif, seperti melonjaknya angka pengangguran dan kemiskinan.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw.: "Senantiasalah kamu berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur.

Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari Muslim).

Karena pentingnya nilai sebuah kejujuran ini, maka Imam Ibnul Qayyim berkata, “Iman asasnya adalah kejujuran dan nifaq asasnya adalah kedustaan.” Hal ini sesuai dengan sebuah hadits Nabi, di mana para sahabat pernah bertanya: "Ya Rasulullah, 'Apakah ada orang beriman yang pendusta?' Beliau menjawab, 'Tidak.’ (HR. Malik).

Dan hadits Nabi yang lain yang menyatakan bahwa dusta merupakan tanda dari kemunafikan. Rasulullah bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia memungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari).




sumber : www.republika.co.id

Saturday, May 12, 2012

Mengejar Para "Bintang"

, Oleh: Rizqo Kamil Ibrahim *

"Ahad, Ahad" (Allah maha Esa) , ujar bilal bin rabah radiyallahu 'anh mantap di kala punggunggnya dicambuk oleh 'umayyah bin khalaf. Tujuan mereka menyiksa hanya satu: "agar orang–orang yang disiksa berlaku syirik!", namun Bilal bin rabah tetap teguh beriman secara hati dan perkataan.

Tak ayal penyiksaan pun ditambah ,mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad...“ penyiksaan kembali ditambah,  Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad...” Pada akhirnya pertolongan Allah pun datang setelah penyiksaan yang di alami bilal berhari-berhari, Abu bakar radiyallahu 'anhu membeli bilal bin rabah radiyallahu 'anhu dari 'umayyah bin khalaf.

Itulah sekelumit kisah yang menggetarkan jiwa,yang menyirami hati – hati yang kian layu tentang bagaimana gagahnya anak manusia mempertahankan prinsip, yang dicontohkan oleh para "Bintang" .

"Para Bintang"? ya merekalah sahabat nabi shalla llahu 'alaihi wa sallam yang diumpamakan bagaikan bintang  di langit oleh Baginda Rasulullah Shalla 'llahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:
 
“Bintang-bintang adalah penjaga bagi langit. Apabila bintang-bintang itu lenyap maka akan menimpa langit apa yang dijanjikan atasnya (kehancuran). Aku adalah penjaga bagi para Sahabatku. Apabila aku pergi maka akan menimpa mereka apa yang dijanjikan atas mereka. Para Sahabatku juga menjadi penjaga bagi umatku. Apabila para Sahabatku telah pergi maka akan menimpa umatku apa yang dijanjikan atas mereka.” (HR. Muslim)

Ada apa dengan bintang, Sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyandingkan sahabat Ridwanullah 'alaihim dengannya?  Jawabnya ada dalam Quran, sebagaimana  Firman Allah azza wa jalla:

“Artinya : Sesungguhnya kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan kami jadikan bintang-bintang itu sebagai alat pelempar syaithan, dan kami sediakan bagi mereka siksa yang menyala-nyala” [Al-Mulk : 5]

Di ayat ini Allah menjadikan Bintang sebagai penghias langit yang menjadikan malam teramat indah dengan gelap yang ditemani bintang. Selain penghias, bintang – bintang dijadikan sebagai alat pelempar setan tatkala mencuri pembicaraan.

Demikian juga para sahabat, mereka adalah penghias umat ini, dengan pemahaman, ilmu dan amal mereka. Dan juga Para sahabat merupakan alat pengintai (pelempar) bagi  dakwah ahlul batil, penyelewengan orang-orang yang menyimpang dan sebagainya.

Dan juga firmanNya: “Artinya : Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikan petunjuk dalam kegelapan darat dan laut” [Al-An’am : 97]

Tak ubahnya Bintang di malam hari , Sahabat merupakan petunjuk dari kegelapan syahwat dan pemikran sesat. Barangsiapa berpaling dari pemahaman mereka maka ia tersesat jauh dalam kegelapan yang berlapis-lapis.

Lantas? Sudah saatnya bergegas untuk ziyarah (berkunjung) ke kisah – kisah para sahabat ridwanullah 'alaihim demi mengejar jejak 'para bintang', dan jika tapak kaki sudah berada di jalan mereka, maka Ridho Allah dan Surganya pun menanti.

Allah azza wa jalla berfirman: “Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [At-Taubah : 100]

Wallahu ta'ala a'lam

*penulis sedang melanjutkan studi di Universitas Islam Madinah


sumber : www.republika.co.id

Shalat Sepanjang Hayat

,  Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
 
Dan orang orang-orang yang menjaga shalatnya. Mereka itu dimuliakan di dalam surga.” (Al-Maarij: 34-35)
 
Shalat menjadi keutamaan dalam Islam. Shalat bukan sebatas ritual wajib lima waktu dan 17 rakaat dalam sehari. Shalat adalah ibadah paling mulia yang diperintahkan Allah Swt kepada umat manusia agar terhindar dari perbuatan keji dan munkar.

Karena itu, yang terpenting dalam shalat bukan sebatas melaksanakan, tetapi mendirikan. Melaksanakan sebatas mengerjakan ritual keagamaan tanpa memiliki kesadaran dan pemahaman mendalam terhadap makna shalat. Mendirikan dibangun dengan landasan kesadaran akan dekatnya Allah Swt.

Kesadaran membangkitkan kecintaan dalam menjalankan perintah-perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya. Jadi Quran surah Al-Ankabut ayat 45 berbunyi “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar,” benar-benar meresap ke dalam hati.

Dari sini diketahui bahwa perintah shalat bukan hanya sekadar melakukan gerakannya saja, melainkan lebih dari itu. Benar shalat adalah gerakan badan dan bacaan yang tertentu terdiri dari berdiri, duduk, ruku, sujud, tasbih, tahmid dan sebagainya. Akan tetapi yang mendatangkan pahala adalah yang mendirikan shalat disertai kehadiran hati di dalamnya.

Ini yang membedakan antara orang-orang melakukan shalat. Meski zhahirnya gerakan-gerakan dan waktunya sama tetapi ia akan berbeda dan bertingkat-tingkat di dalam menghadirkan hati dan kekhusyukan.

Di dalam mendirikan shalat terdapat pemenuhan terhadap naluri manusia yaitu butuh, lemah, suka meminta, mengharapkan perlindungan, berdoa, munajat dan menyerahkan segala urusan kepada yang lebih kuat, penyayang, penyantun dan lebih sempurna.

Alquran secara tegas memerintahkan seseorang untuk selalu minta pertolongan di antaranya adalah dengan shalat. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah Swt Quran surah Al Baqarah ayat 45,  “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya ia sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”.

Ayat ini berbicara mengenai sifat dan keadaan manusia yang memiliki sifat cepat berkeluh-kesah. Ketika mendapatkan keburukan dan kebaikan selalu ada respon negatif. Tetapi ada di antara manusia yang dikecualikan oleh Allah yaitu orang-orang yang shalat.

Shalat juga menjadi bukti nyata akan kesyukuran dan penghambaan diri kepada-Nya. Oleh karena itu orang yang mendirikan shalat bagaikan ikan yang tidak bisa hidup kecuali di dalam air, maka apabila ia keluar dari air ia sangat membutuhkannya dan ingin sekali lari kembali ke dalamnya.

Betapa banyak dan besar urgensi shalat yang disebutkan dalam Quran. Dalam berbagai ayatnya, Quran telah menerangkan keutamaan dan buah yang akan didapatkan dari shalat seperti pahala bagi yang mendirikan dan siksaan terhadap yang meninggalkannya. Dalam beberapa referensi, Quran juga menegaskan shalat memiliki ruh dan esensi yang harus direalisir sehingga seorang manusia mampu hidup dengan shalat dan shalat hidup dengannya. Sehingga sepanjang hayat hidup bershalatlah.
 


sumber : www.republika.co.id

Friday, May 11, 2012

Shalat Sepanjang Hayat

,  Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
 
Dan orang orang-orang yang menjaga shalatnya. Mereka itu dimuliakan di dalam surga.” (Al-Maarij: 34-35)
 
Shalat menjadi keutamaan dalam Islam. Shalat bukan sebatas ritual wajib lima waktu dan 17 rakaat dalam sehari. Shalat adalah ibadah paling mulia yang diperintahkan Allah Swt kepada umat manusia agar terhindar dari perbuatan keji dan munkar.

Karena itu, yang terpenting dalam shalat bukan sebatas melaksanakan, tetapi mendirikan. Melaksanakan sebatas mengerjakan ritual keagamaan tanpa memiliki kesadaran dan pemahaman mendalam terhadap makna shalat. Mendirikan dibangun dengan landasan kesadaran akan dekatnya Allah Swt.

Kesadaran membangkitkan kecintaan dalam menjalankan perintah-perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya. Jadi Quran surah Al-Ankabut ayat 45 berbunyi “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar,” benar-benar meresap ke dalam hati.

Dari sini diketahui bahwa perintah shalat bukan hanya sekadar melakukan gerakannya saja, melainkan lebih dari itu. Benar shalat adalah gerakan badan dan bacaan yang tertentu terdiri dari berdiri, duduk, ruku, sujud, tasbih, tahmid dan sebagainya. Akan tetapi yang mendatangkan pahala adalah yang mendirikan shalat disertai kehadiran hati di dalamnya.

Ini yang membedakan antara orang-orang melakukan shalat. Meski zhahirnya gerakan-gerakan dan waktunya sama tetapi ia akan berbeda dan bertingkat-tingkat di dalam menghadirkan hati dan kekhusyukan.

Di dalam mendirikan shalat terdapat pemenuhan terhadap naluri manusia yaitu butuh, lemah, suka meminta, mengharapkan perlindungan, berdoa, munajat dan menyerahkan segala urusan kepada yang lebih kuat, penyayang, penyantun dan lebih sempurna.

Alquran secara tegas memerintahkan seseorang untuk selalu minta pertolongan di antaranya adalah dengan shalat. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah Swt Quran surah Al Baqarah ayat 45,  “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya ia sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”.

Ayat ini berbicara mengenai sifat dan keadaan manusia yang memiliki sifat cepat berkeluh-kesah. Ketika mendapatkan keburukan dan kebaikan selalu ada respon negatif. Tetapi ada di antara manusia yang dikecualikan oleh Allah yaitu orang-orang yang shalat.

Shalat juga menjadi bukti nyata akan kesyukuran dan penghambaan diri kepada-Nya. Oleh karena itu orang yang mendirikan shalat bagaikan ikan yang tidak bisa hidup kecuali di dalam air, maka apabila ia keluar dari air ia sangat membutuhkannya dan ingin sekali lari kembali ke dalamnya.

Betapa banyak dan besar urgensi shalat yang disebutkan dalam Quran. Dalam berbagai ayatnya, Quran telah menerangkan keutamaan dan buah yang akan didapatkan dari shalat seperti pahala bagi yang mendirikan dan siksaan terhadap yang meninggalkannya. Dalam beberapa referensi, Quran juga menegaskan shalat memiliki ruh dan esensi yang harus direalisir sehingga seorang manusia mampu hidup dengan shalat dan shalat hidup dengannya. Sehingga sepanjang hayat hidup bershalatlah.
 


sumber : www.republika.co.id

Thursday, May 10, 2012

Wahai Umat Islam, Bangkitlah!

Oleh: Ustadz Toto Tasmara

Air mata mengalir dari jiwa yang merintih. Nurani tercabik, terkoyak tersayat pedih, menyaksikan keadaan umat yang seakan kehilangan kesadaran perjuangan untuk meneruskan warisan suci ini—risalatul nabawiyyah yang mengibarkan panji–panji cinta rahmatan lil alamin. Umat bagaikan berada di negeri yang asing.

Semangat berjamaah, dimaksudkan untuk mengutamakan cinta kasih penuh persaudaraan di tengah-tengah perbedaan. Tanpa semangat itu, demokrasi akan menjadi anarki, dan mazhab menjadi tuhan. Orang-orang kuat akan menjadi serigala yang siap memangsa orang lemah dan dilemahkan.

Naiklah ke puncak-puncak peradaban masa lalu. Ambil dan reguklah hikmahnya, niscaya akan kita dapati betapa jauhnya kita dari jalan nubuwwah (kenabian). Kita adalah umat raksasa yang berjalan dalam kegelapan kehilangan pemandunya.

Umat kehilangan tangan dan tak mampu lagi mengubah peradaban manusia. Bahkan kehilangan keberanian untuk menampakkan kemuliaan akhlak. Karena masing-masing diantara kita telah memadamkan pelita jiwa persaudaraan, membuang semen perekat yang akan merakit bangunan kemuliaan akhlak.

Saat ini, umat Islam bagaikan terlena dalam gemuruh ornamental atau hiasan duniawi yang diimpor dari pusat-pusat pergerakan non-Muslim. Sumber daya alam yang melimpah telah digadaikan. Karena kebodohan dan etos kerja yang lemah. Jiwa kita dirasuki khayalan-khayalan yang menjerumuskan pada kenikmatan yang sesaat.

Persis seperti yang diuntai sebuah peribahasa. “Naharuka ya maghrus sahwun wa ghoflatun wa lailuka naumun warroda laka lazim.” (Siang hari kamu lupa bekerja dan lalai, wahai orang yang tertipu. Sedangkan malam hari kamu lelap tertidur merenda mimpi merajut khayal—sungguh celaka tak terelakkan).

Perutmu kenyang, sedangkan tepat di sekitar rumah istanamu ada sepenggal hati yang merintih kelaparan. Bibirmu bergetar menghapalkan ayat dan nilai persaudaraan, padahal jiwamu penuh dengan egoisme dan permusuhan.

Kalau saja umat Islam terjaga dari tidurnya, niscaya mereka memahami makna akidah sebagai keberpihakan penuh (kaffah). Mulai dari niat, bersikap dan bersiasat haruslah berpihak pada Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman, "Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali agama Allah dan janganlah kamu bercerai berai... " (QS. Ali Imran: 103).

Qum fa andzir, bangunlah dari mimpimu! Berhentilah berkeluh kesah mencaci maki kegelapan. Lebih baik engkau menyalakan pelita yang mungkin berguna bagi mereka yang mencari pengharapan. Tebarkan iman dengan cinta, ubahlah dunia dengan prestasi. Jadikan hidupmu penuh arti. Dan bila sudah punya arti, bolehlah bersiap untuk mati. Dan bila datang hari perjumpaan, basahkan bibirmu mengucap puji Ilahi Rabbi; Laa ilaha illallah!


sumber : www.republika.co.id